Hello everyone, Merry Christmas 2012 and Happy New Year 2013!!
May this year will be better than last year ^^ I'm sorry I can't post for a long time because I'm busy and sometimes I feel tired and then I go to sleep.... Sorry >.< Ah~ this time I want to post a sad story because I think in this story there are some good morals value that you can be contemplated. I don't know if you've read it before or not, but I just wanna share it for who doesn't know this story before ^^ Okay then, happy reading :)
Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya ....
Rani,
sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan
memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya
sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang
akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip
seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Universitas
mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit
Utrecht , Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih
menuntaskan pendidikan kedokteran.
Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya,
buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat,
bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan
mereka.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6
bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia
terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara
lain.
Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif
terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan sigap Rani menjawab,
''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!''
Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya,
ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal
mengontrol jadwal Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang
tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya
selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang
kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik
pesawat terbang, dan uang yang banyak.''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau
Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di
akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif berusia 3
tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan
tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya.
Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat
Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya,
kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi
karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap
pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.
Sungguh
keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk,
Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu
hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak
dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh
harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat
diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit
berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut
membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.
Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa
ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda, mandikan aku!'' kian lama
suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu
karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta
perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai
suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu
dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah
terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya
rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani,
ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia
shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang
menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan
siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring
kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah
jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya,
berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah
mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara.
Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah
takdir, ya kan . Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang
lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan ?'' Saya diam saja.
Rasanya
Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung
seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini
konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan
kuat.Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.Tiba-tiba
Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu
hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih
tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri
kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih
mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di
atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif......
-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi
menolong--
Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan
kehilangan yang amat sangat.-- Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik
dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di
dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka
jadi abaikan saja dulu.-- Sering kali orang takabur dan merasa yakin
bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang.
Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan
ada.-- Pelajaran yang sangat menyedihkan.
No comments:
Post a Comment